Membahas tentang kepemimpinan di era sekarang ini adalah hal yang
sangat menarik, terutama di Indonesia. Sebab, saat ini jelas di
Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Mengapa demikian? Karena
seperti yang kita lihat dan ketahui sendiri, bahwasannya presiden
Indonesia saat ini tidak mampu menunjukkan jiwa kepemimpinannya terhadap
rakyat. Banyak yang mengatakan bahwa presiden kita hanya banyak
berwacana, lebih mementingkan citra, dan tidak pro terhadap rakyat.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwasannya rakyat Indonesia sangat
merindukan pemimpin yang memang siap memasang badan untuk kemajuan
bangsa. Seperti Bung Karno, yang memang kita ketahui beliau sangat
disegani baik di luar maupun di dalam negeri. Memiliki kecerdasan untuk
memberikan gagasan-gagasannya untuk kemajuan bangsa, juga
mengaplikasikannya secara nyata. Begitu pula dengan pak Harto, walaupun
di akhir kariernya beliau sebagai presiden amat sangat tragis, akibat
sistem pemerintahannya yang terlalu diktator dan penuh dengan praktek
KKN, sejatinya saat kepemimpinan beliau banyak kebijakan-kebijakan yang
diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat.
Sebenarnya, tidak banyak gunanya membincangkan kriteria dan
syarat-syarat pemimpin. Para filsuf dan penulis Muslim sejak Abu Hasan
Al-Mawardi pada abad ke-20 telah membicarakan syarat-syarat ideal bagi
seorang pemimpin politik. Kriteria dan syarat-syarat pemimpin adalah
tema klasik dalam filsafat politik.
Berbeda dengan para ilmuwan politik modern yang lebih suka membahas
tentang tipologi atau tipe-tipe kepemimpinan dibandingkan membahas soal
syarat-syarat seorang pemimpin. Contohnya Herbert feith, sarjana
politik asal Australia ini, meneliti tentang politik Indonesia dan
menemukan dua tipe kepemimpinan politik yaitu, apa yang dia sebut
dengan tipe “pengelola” (administrator) dan tipe “pemersatu”
(solidarity maker).
Menurut Feith dalam bukunya yang berjudul “The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia” (1962), pemimpin tipe pengelola
adalah mereka yang memiliki kemampuan teknis dalam mengatur negara. Tipe
ini dijelaskannya, umumnya diwakili oleh tokoh-tokoh terdidik yang
menguasai suatu bidang tertentu. Sementara pemimpin dengan tipe
pemersatu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mendekati
massa, mempengaruhi mereka, serta mendapatkan dan dukungan dari mereka.
Feith menganggap pemimpin seperti Muhammad Hatta sebagai tipe
pengelola, sementara pemimpin seperti Soekarno sebagai pemimpin bertipe
pemersatu. Feith juga menjelaskan bahwa dua tipe kepemimpinan ini
jarang bercampur pada diri satu orang. Pemimpin pemersatu biasanya
cakap dalam mengumpulkan pendukung, namun ketika sang pemimpin memimpin
sistem pemerintahan, dia gagal dan kerap mengecewakan. Sebaliknya,
pemimpin bertipe pengelola, dia cakap dalam mengelola sistem
pemerintahan, tapi kurang mendapatkan dukungan dari rakyat. Hal ini
terjadi karena sang pemimpin kurang menguasai retorika atau kurang
memiliki kecakapan yang cukup untuk mendekati massa. Namun, memang
disayangkan bahwasannya sangat jarang ada pemimpin yang memiliki
kecakapan dua hal itu sekaligus dalam tubuh satu orang.
Selain Herbert Feith, ada satu ilmuwan lagi yang membahas tentang
tipe-tipe kepemimpinan politik di Indonesia. Dialah William Liddle.
Ilmuwan politik asal Ohio State University ini memperkenalkan dua tipe
kepemimpinan Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia. Yaitu tipe
“Transformasional” (transforming leader) dan tipe “transaksional”
(transactional). Dalam makalahnya, “Marx atau Machiavelli” (2001),
Liddle menjelaskan, yang dimaksud dengan tipe transformasional adalah
pemimpin yang mampu membentuk ulang situasi politik Indonesia dari satu
keadaan ke keadaan yang lain. Sementara tipe transaksional adalah model
kepemimpinan yang mempergunakan kekuasaannya untuk ditukar (barter)
dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.
Menurut Liddle, bung Karno adalah jenis pemimpin transformasional karena
telah mengubah Indonesia dari fase penjajahan ke fase lainnya yaitu
fase kemerdekaan. Namun, Liddle membatasi bahwa karakter
transformasional bung Karno hanya terjadi sejak awal kemerdekaan hingga
tahun 1949. Setelah itu, bung Karno tidak lagi memiliki visi
transformatif. Seperti yang saya tulis di awal, bahwasannya pak Harto
dalam tingkatan tertentu juga memiliki karakter transformasional, dimana
beliau berusaha mengubah kondisi Indonesia lewat proyek pembangunan
dan modernisasi di Indonesia.
Sementara itu, untuk pemimpin berkarakter transaksional di Indonesia
nampaknya amat banyak contohnya. Sebut saja Gus Dur, SBY, dan lainnya.
Menurut Liddle, tokoh-tokoh ini adalah tokoh berkarakter transaksional
yang mempertukarkan kekuasaannya dengan posisi-posisi yang dapat
menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Seperti yang kita ketahui, GusDur
adalah ulama NU dan pemimpin partai, sedangkan SBY adalah anggota TNI
dan juga pemimpin partai serta pernah menjadi pembantu presiden
(menteri).
Lewat tipologi-tipologi yang dikatakan oleh Herbert Feith dan William
Liddle, kita bisa menganalisa tentang karakter kepemimpinan dengan
hanya melihat dari pemahaman praktis. Memang di era seperti sekarang
ini, politik pencitraan untuk dapat memperoleh elekstabilitas seorang
pemimpin tidak terlalu berpengaruh dan sangat merugikan negara. Mengapa
demikian? Karena yang dibutuhkan seorang pemimpin adalah kemampuan
untuk melakukan pembangunan yang akan dapat mensejahterakan rakyat dan
menjadi contoh yang baik di masyarakat. Apabila seorang pemimpin hanya
mementingkan politik pencitraan tanpa ada bukti nyata akan pembangunan
pada masa kepemimpinannya, rakyat yang cerdas pastilah paham apa maksud
dari orang ini untuk maju menjadi seorang pemimpin.
Saat ini mungkin Indonesia sedikit dihiburkan dengan munculnya pemimpin
yang bisa dibilang kompeten dan dapat bersinergi dengan setiap wilayah
yang dipimpinnya. Yaitu Joko Widodo. Pengusaha mebel dari kota Solo
Yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta ini, bisa dikatakan
memang memiliki kapasitas untuk menjadi seorang pemimpin. Selain
memiliki gagasan yang sederhana dan lebih banyak bertindak dibanding
mementingkan citra, beliau adalah pemimpin yang dicintai rakyat karena
tindakan nyatanya untuk membangun kesejahteraan dan memiliki pembawaan
diri yang sederhana. Bisa dikatakan bahwa fakta di lapangan adalah
bukti akan kepemimpinannya.
Bila kembali membahas tentang karakter kepemimpinan di Indonesia
menurut Herbert Feith, mungkin saya bisa memasukan seorang Joko Widodo
ini termasuk dalam dua karakter kepemimpinan yang dimaksud oleh Feith,
yaitu tipe pengelola dan tipe pemersatu. Karena Jokowi telah membuktikan
beliau dapat memimpin sebuah sistem pemerintahan yang baik saat
menjadi walikota Solo dan melakukan gebrakan di birokrat pemprov DKI
Jakarta di awal kepemimpinannya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan
untuk tipe pemersatu, Jokowi telah terbukti dapat menjadi rekan yang
baik di masyarakat dengan terus melakukan kebijakan-kebijakan yang pro
terhadap rakyat. Selain itu, attitude Jokowi yang Low Profile, telah
memikat banyak rakyat untuk mendukungnya. Pada kasus ini, kita bisa
contohkan ketika Pilkada DKI Jakarta 2012 Jokowi bisa mengalahkan Fauzi
Bowo yang notabenne adalah calon Incumben, memiliki basis pendukung
yang banyak di DKI, mendapatkan dukungan dari banyak partai, serta
warga asli Jakarta. Namun, bila kepemimpinan Jokowi tidak konsisten
dari Ikrar awalnya, mungkin saja citranya sebagai pemimpin akan jatuh
dan tidak akan mendapatkan kepercayaan lagi dari rakyat. dan yang
paling penting, tipe-tipe kepemimpinan yang telah kita bahas yang
menobatkan Jokowi sebagai contoh nyata sebagai pemimpin yang baik,
pasti akan terhapuskan.
Dari contoh diatas kita bisa menilai bahwa konkret dalam melakukan
kebijakan adalah hal yang penting dalam elekstabilitas seorang pemimpin.
Karena bila kita telah melakukan suatu urusan dan itu bisa
diselesaikan dengan baik, maka kepercayaan orang terhadap diri kita
akan meningkat. Namun, sekali saja kita tidak dapat menjalankan amanah
dengan baik, jangan harap akan ada feedback yang baik dari rakyat
kecuali dengan cara-cara picik dan diktator.
Itulah pembahasan singkat tentang tipologi kepemimpinan di Indonesia.
Sebagai warga negara yang mencintai tanah airnya, sudah sepantasnya
kita sangat mengharapkan akan hadirnya sosok-sosok pemimpin yang siap
berada di garis paling depan dan memiliki mental revolusioner untuk
membawa negeri ini kearah yang lebih baik.
MERDEKA!!!!!!
Ditulis Oleh: Muhammad Ahsan (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Ka.Bid PTKK HMI Komisariat Cireundeu, SekJen
HIMAPOL FISIP UMJ)
0 komentar:
Post a Comment